Aktivis hak asasi manusia mengecam China setelah adanya laporan bahwa Beijing secara paksa memulangkan lebih dari 500 pembelot Korea Utara.
Menurut beberapa kelompok hak asasi manusia Korea Selatan yang bekerja dengan pengungsi Korea Utara, para pembelot tersebut dikirim melintasi perbatasan China-Korea Utara awal pekan ini, tidak lama setelah berakhirnya Asian Games yang diadakan di Hangzhou, China.
Pemulangan massal warga Korea Utara yang dilaporkan itu adalah yang pertama dilakukan oleh China sejak Pyongyang mulai melonggarkan pembatasan di perbatasan akibat COVID-19 dalam beberapa bulan terakhir.
Sebelum pandemi terjadi, China secara rutin mengirim para pembelot kembali ke Korea Utara, di mana mereka menghadapi hukuman, termasuk kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan, atau eksekusi.
Kementerian Luar Negeri China belum mengonfirmasi repatriasi tersebut, tetapi membela pendekatan Beijing terhadap warga Korea Utara yang dianggap sebagai migran ekonomi ilegal.
Pada jumpa pers hari Kamis, juru bicara Kemlu China Wang Wenbin menegaskan tidak ada “yang disebut pembelot” di China.
Jihyun Park, yang melarikan diri dari Korea Utara dan sekarang menjadi aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Inggris, menolak gagasan tersebut, dan mengatakan bahwa para pembelot Korea Utara harus diberi perlindungan seperti yang diberikan kepada pengungsi berdasarkan hukum internasional.
“Pemulangan paksa para pembelot Korea Utara bukan hanya masalah warga negara Korea Utara, ini adalah masalah hak asasi manusia internasional,” kata Park kepada VOA.
Human Rights Watch pada Kamis (12/10) mengonfirmasi repatriasi massal tersebut, dengan menyatakan bahwa “para pengungsi yang kembali – sebagian besar perempuan – berisiko besar ditahan di kamp kerja paksa, dan menghadapi penyiksaan, kekerasan seksual, penghilangan paksa, dan eksekusi.” [lt/ab]